*71. Sisa Hukum Pasca Penghapusan Kewajiban*
~~~~~
وان الوجوب إذا نسخ بقي الجواز وهو عدم الحرج فى الأصح
Dan bahwasanya hukum wajib tatkala telah dihapus, maka tersisa hukum jawaz/jaiz. Maksud jawaz adalah tidak ada konsekuensi dosa, menurut qaul ashah. (Lubb Al Ushul)
Dalam redaksi Jam'u Al Jawami ditambahkan,
وقيل الإباحة وقيل الإستحباب
Dikatakan dalam pendapat (lain), berubah menjadi mubah. Dan pendapat (lain lagi), berubah menjadi sunnah.
~~~~~
Manakala syara' menetapkan hukum wajib atas perbuatan, kemudian syara' menghapusnya dengan mengatakan semisal, "Aku telah menghapus kewajibannya" atau "Aku telah menghapus haramnya meninggalkan perkara tersebut", maka hukum apa yang tersisa pasca penghapusan tersebut ? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat:
1. Menurut Ashah, yang tersisa adalah jawaz, yakni 'tidak ada dosa' manakala dikerjakan atau ditinggalkan, bisa jadi berbentuk mubah, sunnah, makruh atau khilaful aula.¹ Jawaz tsb disimpulkan dari substansi wajib, berupa izin melakukan perbuatan disertai fashl berupa izin meninggalkan yang menjadi sisa larangan untuk meninggalkan.
2. Pendapat kedua, yang tersisa adalah mubah. Karena dengan hilangnya kewajiban (juga keharaman), mengakibatkan hilangnya tuntutan (thalab) mengerjakan/meninggalkan, sehingga yang menetap hanya tinggal hak memilih (takhyir).
3. Pendapat ketiga, yang tersisa adalah sunnah. Karena yang paling diyakini setelah hilangnya tuntutan mengharuskan (jazim-wajib), masih adanya tuntutan tidak mengharuskan (ghairu al jazim-sunnah). Dan menurut kami (saya), ini juga berlaku untuk larangan. Setelah hilangnya larangan mengharuskan (haram), maka hukum yang berlaku kemudian adalah larangan tidak mengharuskan, yakni makruh.
4. Pendapat Imam Ghazali, tidak ada sisa hukum jawaz pasca penghapusan. Karena penghapusan kewajiban menjadikan kewajiban tersebut seolah tidak pernah ada. Sehingga perkara itu dikembalikan kepada keadaan hukum asal sebelum diwajibkan syara', yakni bisa haram atau mubah, dengan sebab adanya mudharat atau manfaat.
Contoh:
1. Kewajiban menghadap kiblat semula adalah ke Baitul Maqdis. Seperti sabda Nabi:
ﺁﻥْ ﺍﻟْﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﺳَﻠَّﻢَ ﺁﻗَﺎﻡَ ﻳَﺴْﺘَﻘْﺒِﻞُ ﺑَﻴْﺖَ ﺍﻟْﻤُﻘَﺪَّﺱِ ﻓِﻰ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺳِﺘَّﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﺷَﻬْﺮًﺍ. (ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ)
“Sesungguhnya Nabi SAW, berdiri menghadap Baitul Maqdis dalaam shalat 16 bulan”. (HR. Bukhari & Muslim).
Kemudian tuntutan dalam hadits di atas dihapus oleh ayat Al Qur'an, yakni
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ َ
"...Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu..." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 144)
Maka, mengacu pada pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat Imam Al Ghazali, yakni kewajiban menghadap Baitul Maqdis itu seperti tidak pernah ada hukumnya. Dan hukum yang diberlakukan adalah sesuai dengan dalil terbaru (nasikh), yakni wajibnya menghadap Masjidil Haram, karena tuntutannya tegas sesuai QS. Al Baqarah, 2: 144.
2. Ziarah Qubur
Nabi bersabda:
ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُّﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳَﺎﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫَﺎ . (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ)
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang berziarahlah”. (HR. Muslim)
Larangan tegas (haram) ziarah qubur telah mansukh oleh tuntutan tidak mengharuskan. Maka semua pendapat terkait penghapusan larangan bisa diterapkan.
1) Pendapat Ashah, maka larangan ziarah qubur bisa berubah menjadi sunnah, mubah, makruh, khilaful aula.
2) Pendapat kedua, setelah hilangnya larangan atau tuntutan meninggalkan (haram), maka yang tersisa adalah pilihan/takhyir. Sehingga hukum terbaru ziarah qubur menjadi mubah.
3) Pendapat ketiga, setelah hilangnya larangan tegas, maka tersisa larangan tidak tegas, yakni hukum baru menjadi makruh.
4) Pendapat Imam Ghazali, hukum ziarah qubur yang dahulu dianggap tidak pernah ada. Yang ada adalah hukum yang datang kemudian, yakni berupa tuntutan tidak mengharuskan, yakni dihukumi sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar